20 November 2009

Mobilku sayang, mobilku malang...

Saya dulu punya mobil.

Lebih tepatnya, dulu saya punya gembreng yang bisa jalan dengan empat roda. Intinya: mobil itu adalah mobil pertama saya waktu belajar nyetir. Inti dari intinya: mobil inilah yang dengan biadabnya saya siksa dengan ketidakprimobilan.

Jumlah tabrakan yang diderita mobil ini melebihi jenggot yang tumbuh di ketiak manusia. Segala macam lecet yang pernah dibayangi umat mobil sudah pernah terjadi pada mobil ini. Dan dengan mobil inilah, saya dengan biadabnya mengendarai layaknya mengendarai kuda binal; serong kanan serong kiri. Seandainya saja mobil ini punya nyawa, pasti sudah guling-guling melarikan diri sejauh-jauhnya dari rumah.

Hal pertama yang baru saya tau waktu belajar menyetir: jangan pernah menyetir dengan kaki. Ralat, jangan pernah menyetir dengan sok gaya. Hal inilah yang saya lakukan ketika baru tau menyetir. Dengan pedenya saya tabrak pot bunga. Tidak ada korban jiwa, Cuma kembangnya mati semua. sukses. Tanpa satupun yang ketinggalan.

Tapi, kebrutalan saya dalam menyetir bukannya tanpa hasil.

Perlahan-lahan saya bangun dari keterpurukan. Belajar dari setiap tabrakan. Bagai burung yang baru belajar terbang, saya mendapat pelajaran berharga ketika belajar menyupir mobil. Contohnya, sehabis nabrak pagar deket gerasi, saya belajar bahwa setiap mobil pasti punya rem. Pasti.

mobil yang sukses saya siksa dengan tidak keprimobilan.

Contoh lainnya, ketika saya nabrak pohon di tikungan, saya belajar bahwa jangan lupa belok ditikungan. Ngelindes tukang bakso, saya belajar bahwa tukang bakso berbeda dengan polisi tidur.

Salah seorang teman saya pernah bilang: “tenang aja Wie’, klo belum nabrak artinya kamu belum jago!”. Katanya. Bersemangat.

“berarti saya jago banget dong!”. Kata saya berapi-api. “saya kan dah pernah nabrak pagar garasi, nyium pot bunga, nabrak pohon, ngelindes tukang bakso, nyerempet taksi, nabrak kambing, sampe’ ngacurin lampu depan”.

Dia bengong.

Dia lalu bilang: “kamu tuh gila.”

Fenomena betapa idiotnya saya menyetir ini segera di analisis supir setempat. Suatu hari, setelah saya nabrak untuk kesekian kalinya, seorang supir bilang: wah, hebat banget kamu. Sudah buat bemper depannya penyot, belakangnya hancur, samping kanan-kiri lecet semua… tinggal satu lagi nih, besok pulangnya bannya ada diatas”.

Saya hanya bisa nyengir. Malu.

Selain cara menyetir yang brutal, sikap ketidakprimobilan saya ditunjukkan dengan cara merawat mobil. Bukan merawat mesin atau bodinya, ini lebih ke bensin. Yap, bensin. Saya tidak pernah mengisi bensin lebih dari 5 liter. Paling penuh itu 3 liter, yang paling sering cuma 1 liter, bahkan terkadang setengah liter. Oke, oke, saya tau bahwa saya pasti dilaknat oleh dewa-dewa mobil.

Kebiasaan mengisi 1 liter ini sukses membuat mogok dibeberapa tempat. Terutama ketika saya lagi sendirian. Pernah, suatu waktu mogok di tempat angker, kebetulan saya cuma berdua dengan teman saya. Lalu temen saya bilang: “lain kali saya naik taksi aja, dari pada harus jantungan kayak gini”. Katanya syok. Saya nyengir.

Terakhir saya nyetir sendirian. Dan pastinya, mogok. Terpaksa saya nunggu pertolongan, sekitar 1 jam-an. sendirian. Dan saya dapat mengambil pelajaran dari kejadian ini: menunggu waktu 1 jam sendirian rupanya sangat lama.

1 komentar:

pangapora mengatakan...

Hihihi.... KamO merGO mimang orangnya. Pagus, paik, lucu dan penuh biadap pada mobil. Hihihi... Mari' sini, tabrak saya pake' rotiboy! :p