08 Januari 2010

Antara Ujian, mabuk soal, dan nyontek

11 Januari datang adalah tanggal merah buat saya. Bukan karena hari lagunya Gigi (11 januari bertemu... dst), hari Natal, Nyepi, Idul Fitri atau Idul Adha, hari libur Nasional dan semacamnya, apalagi hari akhir zaman. Tapi benar-benar hari merah; UJIAN SEKOLAH. Percaya atau tidak, inilah hari yang paling ditunggu oleh semua siswa di sekolah saya.

Bagi saya, ujian akhir semester membawa perubahan yang lebih baik. Contohnya saja, kita akan lebih sering melihat siswa berseliweran membawa buku untuk belajar (tapi ada beberapa yang malah membawa buku untuk dijadikan bantal), sampai-sampai mata mereka berubah warna menjadi hijau. Bukan karena mereka melihat uang setumpuk atau emas berkilo-kilo, tapi mereka mabuk. mabuk soal lebih tepatnya. Mata mereka disiksa dengan kejamnya agar tetap terbangun, bagaimanapun caranya; menggunakan kopi (bukan dengan cara disiramkan ke mata!), camilan (dengan cara dimakan, bukan di cungkilkan kemata!), ataupun semacamnya, hingga mata mereka berdarah-darah. Eh, ga' segitunya sih, tapi pokoknya mereka berusaha jangan sampai ketiduran, itu saja. Tapi, hawa ujian yang membuka hati mereka untuk belajar lebih rajin dan giat tak dilalui oleh semua siswa. Ada beberapa yang lebih suka melalui jalan pintas yang rutenya lebih cepat walaupun resikonya lebih besar, tak salah lagi ialah menyontek. Sudah dipastikan, dimanapun sekolahnya, pasti ada siswa yang berusaha menyontek, bagaimanapun caranya. Dari yang buat catatan di sebuah kertas atau di atas bangku, hingga membuat prasasti di tangan dan kaki mereka. Dari yang catatan kecil yang cuma segaris atau separagraf, hingga catatan yang tebalnya hampir menyamai buku pelajarannya (Lha, ngapain buat contekan klo sampe' setebal buku pelajaran, mending bawa aja tuh buku pelajarannya!). Ada juga cara yang lebih kreatif tanpa harus membuat prasasti ataupun semacamnya: bertanya ke siswa yang lebih pintar. Sungguh kreatif kawan!

Saya pernah mengalaminya satu kali. Waktu itu pelajaran yang diujikan Biologi, dan saya termasuk siswa yang lumayan mengerti didalam kelas.

Si Penanya soal Biologi (SPSB): ssstt-ssstt!! heh!!

Saya: (noleh-noleh cari orang yang manggil)

SPSB: *nomer 7 sampe 16. ga tau nih!* (dengan suara pelan)

Saya: (memberi jawaban menggunakan sandi rahasia tangan yang cuma saya, SPSB, dan seluruh siswa yang tau)

SPSB: *makasih!*

Saya: *sama-sama...*

Entah, kenapa si penanya tersebut percaya kepada saya, padahal waktu itu, lembar jawaban saya masih putih mulus tak berisi. Tapi ada untungnya juga dia bertanya kepada saya, sebab saya termasuk orang yang masih ingat dan mengamalkan pelajaran PKn di sekolah tingkat dasar, yaitu: menolong sesama warga negara yang kesusahan. Walaupun waktu itu saya ga' tau jawaban dari soal-soal tersebut, dengan rasa saling tolong-menolong yang kuat, maka saya menolong si penanya tersebut dari soal-soal terlaknat tersebut yang membuat orang epilepsi stadium tiga atau dalam kata lainnya: mabuk soal. Sungguh perbuatan yang mulia sodara-sodara...

Dan yang terakhir, sekedar pesan untuk para pembaca: Don't try this at home. Jangan dicoba dirumah, dicoba dikelas saja.

Salam sukses!

04 Januari 2010

Travel to Badur (Part 2)

[sambungan dari sebelumnya...]

Sekitar jam... jam berapa yah? pokoknya sehabis Isya', kita sudah sampai ditempat kedua; sebuah RUMAH MAKAN. Uhuy!! Tentunya, setelah kecapekan main air dan main rujak (lho?) di pantai tadi membuat perut kita keroncongan, alias kelaparan. Entah kenapa, kok tiba-tiba saja wajah saya terlihat begitu najongnya, padahal saya masih berada diambang pintunya.
Para rombongan memasuki depot tersebut, saya yang sudah mulai kelaparan dari tadi, walaupun ga' sampai meneteskan air liur ketika melihat makanan yang dipamerkan, tidak mau ketinggalan. Sesuai prediksi saya sebelumnya, saya pasti kesulitan ketika memesan makanan. Tapi, memang pada dasarnya saya orang yang tidak pernah kehabisan ide-ide cemerlang (tsah...!!), saya tinggal minta tolong saja ke kakak saya...
Saya: kak, tolong pesenin dong...
kakak: Mau mesen apa?
Saya: terserah... (udah kelaparan)
kakak: lho, terserah gimana?
Saya: terserah dah... pokoknya bisa dimakan
kakak: emm... gimana ya...
saya: sudah sana pesenin! terserah deh apapun makanannya... (minumnya sekaleng baygon, haha!!)
kakak: (kebingungan)
saya: sudah terserah, sama seperti punya kakak ga' papa kok...
kakak: (berangkat memesan, walau sedikit kebingungan)
Singkat cerita, pesanan makanan saya pun datang, dan saya berusaha untuk tidak meneteskan air liur ketika melihat makanan yang diantarkan; sebuah sup ditambah telor dadar dan sate ayam. Setelah celingukan kanan-kiri persis seperti maling ayam, tanpa basa-basi lagi, dengan ke biadaban bak seekor singa yang menemukan daging segar ketika Afrika dilanda kemarau berkepanjangan, tersapu bersihlah makanan tersebut ke dalam perut saya. Saya memang ga' pernah bisa nahan rasa menggebu-gebu ketika melihat makanan tergeletak begitu saja dengan damainya, kecuali makanan tersebut sudah basi atau sudah berevolusi jadi batu. Kenyang? tentunya, saya memang kenyang setelah menyapu bersih makanannya.
Oke, lumayan kenyang...
Oke, cukup mengenyangkan...
Oke, saya emang kurang...
Tapi, setidaknya perut saya terisi dari pada ngga' sama sekali. :D
Setelah para rombongan selesai menghabiskan makanan masing-masing, bakat narsis saya muncul. Dengan cepat saya ambil kamera, foto sana, foto sini. Persis kayak gorila baru tau kamera. Untungnya, ga' ada korban epilepsi ketika saya beraksi. Ga' lucu aja, klo tiba-tiba ada berita hangat di headline sebuah koran: "Lagi-lagi, Korban berjatuhan akibat kenarsisan seekor anak manusia." AaaAAAaaAAaAAaAaaaAAa....
Setelah selesai basa-basi dan bersendawa dengan kerasnya, akhirnya kita meninggalkan rumah makan tersebut sebelum ada korban yang benar-benar berjatuhan. Walaupun sebenarnya perut masih kelaparan, ya mau gimana lagi, daripada harus nge-gelandang malam-malam dan dikira maling jemuran, saya ikut pulang. Dan perjalanan pulangpun berjalan dengan tenang...

THE END
(Yaaah, kok habis...??)

03 Januari 2010

Travel to Badur (Part 1)

Kemaren, bertepatan pada tanggal 2 januari 2010, saya diajak pergi ke sebuah lokasi pantai yang bernama Badur.
Tempatnya lumayan jauh, sekitar 2 jam dari rumah. Walaupun jalan yang ditempuh lumayan jauh dan sempat tertunda hampir 3 jam (bayangkan, rencana berangkat jam 12 siang tapi malah berangkat jam 3 sore lebih!), kami tetap berangkat dengan penuh semangatnya, seperti semangat seorang anak SD yang berbakti kepada orang tua-rajin menabung-tidak pamrih-dan-tidak sombong berseragam merah-putih berangkat sekolah! (jreng-jreng!)
Kebarangkatan kita menuju pantai badur terdiri 3 rombongan; Rombongan pertama yang terdiri dari 2 mobil berangkat lebih dulu, sekitar jam 1 siang, sedangkan rombongan kedua adalah mobil yang saya tumpangi, yang terlambat 3 jam dari keberangkatan semula.
Pemandangan yang ditampilkan oleh alam sungguh menggoda; rumput hijau yang terbentang luas, pohon-pohon yang rindang, dan beberapa kambing betina (mbeeeeeekk!!), eh, maksud saya lautan yang luas. Iya, lautan yang luas. Ditambah dengan supir yang sengaja diundang dari mesir, menambah asyiknya perjalanan yang kita tempuh.
Singkat saja,akhirnya kita sampai di tempat kejadian perkara. Rupanya rombongan pertama yang sampai duluan sudah memulai acara utama: RUJAKAN. Untungnya masih ada ronde kedua yang tidak mengecewakan kita. Ketika hidangan (baca: Rujak) telah dipersilahkan, Naluri kebinatangan saya muncul, dan dengan biadabnya saya habiskan rujak tersebut. Oke, jujur, bukan saya sendirian sih, ada beberapa orang yang menemani makan rujaknya. Dan, saya baru sadar, TERNYATA BUKAN HANYA SAYA SAJA YANG KELAPARAN!! "Beberapa orang" yang ikut serta meramaikan rujakan juga pada kelaparan, terbukti dari cara mereka menyantap rujaknya. Intinya, kita rujakan bareng, sesuai dengan sebuah iklan rokok: "ga' ada loe ga' rame..." haha!!
Tapi tunggu, sebelum kita mengepel habis rujak yang disediakan, kita melihat ada beberapa kejanggalan di bagian bumbunya: ada binatang kecil-kecil berwarna putih berenang-renang riang kesana kemari. Setelah kita melihat, meraba, dan menerawang, ternyata...
ternyataaa...
ternyataaaaaaaa...
TERNYATA UDANG SODARA-SODARA!! Dan baru saya ketahui, ternyata ada beberapa udang yang lebih suka berenang di bumbu rujak dari pada di laut lepas!! Kita beri tempuk tangan sodara-sodara!! (plok-plok-plok-plok-plok-plok-plok-plok!!)
Dari pada harus menunggu bumbu rujak yang baru, kita memilih tetap memakan bumbu yang dijadikan kolam renang oleh udang-udang tersebut. Dan ternyata, ada sedikit bonus yang diberikan oleh para udang tersebut: ketika tidak sengaja udang tersebut terikut (terikut, bukan disengaja!) kemakan oleh kita, ada tambahan rasa asin yang menambah nilai plus rujak tersebut. Mantap daaaah... :D
Sekitar jam 6 sore (atau lebih tepatnya malam?), kita sudah bersiap-siap meninggalkan tempat tersebut. Berbekal sebuah tekad yang kuat, akhirnya kita berangkat meninggalkan tempat tersebut setelah sebelum selesai merapikan barang-barang yang dibawa dan mencari barang-barang yang hilang (sepasang sandal dan sepotong sarung). Perjalananpun terus berlanjut, sebab ada sebuah tempat yang akan kita hinggapi sebelum pulang...

[bersambung...]