Tak seperti biasanya, pagi ini saya bangun jam 2 dini hari. Balik kanan-balik kiri tetap ga' bisa tidur juga, akhirnya saya memutuskan untuk cuci muka sekaligus ambil wudlu'. Masih dalam keadaan setengah mamOng--atau meminjam istilah Joe Satriani, sleep walk--tiba-tiba terlintas sebuah ide yang sangat brilian dan sangat sangat cemerlang: beli BULUD.
Tau kah anda akan BULUD?
Bahkan google-pun tidak tau BULUD yang saya maksud. (Haha!)
BULUD ini adalah sejenis makanan gorengan yang... Yang... Yang... yang gimana ya?? (Ternyata saya sendiri juga ga' tau mendeskripsikan BULUD...) Intinya, BULUD bukanlah istri PAK LUD, tetapi adalah sejenis ketan yang digoreng dengan tepung (seperti halnya pisang goreng), dan paling enak dimakan ketika masih hangat. Dimakan dengan saus sambal enak, dengan sambal kacang juga enak. Lhaaa... itulah BULUD :)
Kembali ke cerita, jadi ketika pikiran yang amat amat amat mulia itu terlintas, maka bersegeralah mencari kendaraan atau tumpangan yang bisa digunakan untuk beli bulud. (Maklum, 'pabrik' buludnya sekitar 1 kilometer dari rumah... :D)
Pencarian kendaraan-pun dimulai.
Bawa mobil? Ini ter-la-lu. Selain capek yang mau bawa, capek juga yang mau ngisi bensinnya.
Bawa motor? Nah, ini juga. Sebenarnya bukan karena masalah capek ga' capeknya, tapi ini masalah yang lebih mendasar lagi, motornya siapa? Lhaaa...
Akhirnya, setelah banting kanan-banting kiri ga' dapat kendaraan juga, secara tak sengaja, kedua mata saya berhasil menangkap sesosok kendaraan beroda dua tanpa busana: sepeda. Yup, sepeda roda dua. Tanpa motor tanpa spion.
Bawa sepeda? Hm... lumayan menantang. Selain beli bulud, lumayan sambil berolahraga pagi.
Dan seperti yang diperkirakan, benar-benar menantang. Entah kenapa jalan yang biasa saya lewati ketika beli bulud pada dini hari kok terasa lain ya? Jalanan yang biasanya terang tiba-tiba gelap, dini hari yang biasanya sepi tiba-tiba sangat sepi. kucing yang biasanya mengeong tiba-tiba mengeong. Ada yang aneh memang, karena terbiasa bawa sepeda motor, jalanan yang gelap menjadi terang terkena sinar lampu sepeda motor. Nah, sekarang bawa sepeda tanpa motor, mana ada lampunya?
Ya, seperti makan buah simalamakamalamaka: maju takut, mundur sudah terlanjur. Terpaksa, maju... dengan bulu kuduk berdiri semua.
Tikungan pertama masih biasa, jalan terang benderang, tak perlu ada yang ditakutkan. Memasuki tikungan kedua, jalanan mulai gelap, tebing kanan-kiri, dan tentu: sepi. Tak ada lampu, tak ada orang. Lampu jalan yang paling dekat sekitar 50 meter didepan. *glek!* tanpa pikir panjang lagi, maju. Biar ga' takut diakali dengan berkonsentrasi ke jalan. Nah, sesampainya ditikungan ketiga kanan-kiri berganti kuburan. Bukan itu yang sebenarnya saya takutkan, namun jalan yang menurun di-ikuti dengan tikungan tajam tanpa penerengan. Sekali lagi, konsentrasi. Namun orang takut tetaplah takut: bagaimana jika ada pocong yang muncul? Ato tiba-tiba ada gendruwo yang menyetop? Namun yang lebih saya takutkan lagi adalah ketika sekonyong-konyong gitaris kangen band muncul narik-narik baju minta diajari maen gitar. Bayangkan kawan, bayangkan!
Selesai melewati 2 tikungan tajam, tinggal saatnya melewati tikungan terakhir: perempatan. Sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan, namun, saya masih ketakutan dengan gitaris-kangen-band-itu. Bagaimana kalau seandainya dia tiba-tiba muncul diperempatan sambil menyeret-nyeret gitarnya dan mengejar saya? Ah... khayalan yang ter-la-lu. Ter-la-lu menyeramkan.
***
Perjalanan pulang sudah tak begitu menakutkan, tentu setelah belajar dari pengalaman ketika berangkat tadi. Hanya saja masalahnya berubah: tanjakan. Selama naik sepeda motor tak ada masalah. Nah bawa sepeda tanpa motor?
Yah, sebenarnya, tantangan jalan tanjakan tak seberat yang dibayangkan. Ketika saya menjalaninya tak ada masalah. Ya lumayanlah, lumayan bikin ngos-ngosan. Walaupun melelahkan, bersepeda pagi sambil beli bulud adalah hal yang menyenangkan sekaligus menantang... dan sedikit menyeramkan. Mungkin lain kali saya akan mencobanya kembali, beli bulud sambil bersepeda pagi... :)
Tau kah anda akan BULUD?
Bahkan google-pun tidak tau BULUD yang saya maksud. (Haha!)
BULUD ini adalah sejenis makanan gorengan yang... Yang... Yang... yang gimana ya?? (Ternyata saya sendiri juga ga' tau mendeskripsikan BULUD...) Intinya, BULUD bukanlah istri PAK LUD, tetapi adalah sejenis ketan yang digoreng dengan tepung (seperti halnya pisang goreng), dan paling enak dimakan ketika masih hangat. Dimakan dengan saus sambal enak, dengan sambal kacang juga enak. Lhaaa... itulah BULUD :)
Kembali ke cerita, jadi ketika pikiran yang amat amat amat mulia itu terlintas, maka bersegeralah mencari kendaraan atau tumpangan yang bisa digunakan untuk beli bulud. (Maklum, 'pabrik' buludnya sekitar 1 kilometer dari rumah... :D)
Pencarian kendaraan-pun dimulai.
Bawa mobil? Ini ter-la-lu. Selain capek yang mau bawa, capek juga yang mau ngisi bensinnya.
Bawa motor? Nah, ini juga. Sebenarnya bukan karena masalah capek ga' capeknya, tapi ini masalah yang lebih mendasar lagi, motornya siapa? Lhaaa...
Akhirnya, setelah banting kanan-banting kiri ga' dapat kendaraan juga, secara tak sengaja, kedua mata saya berhasil menangkap sesosok kendaraan beroda dua tanpa busana: sepeda. Yup, sepeda roda dua. Tanpa motor tanpa spion.
Bawa sepeda? Hm... lumayan menantang. Selain beli bulud, lumayan sambil berolahraga pagi.
Dan seperti yang diperkirakan, benar-benar menantang. Entah kenapa jalan yang biasa saya lewati ketika beli bulud pada dini hari kok terasa lain ya? Jalanan yang biasanya terang tiba-tiba gelap, dini hari yang biasanya sepi tiba-tiba sangat sepi. kucing yang biasanya mengeong tiba-tiba mengeong. Ada yang aneh memang, karena terbiasa bawa sepeda motor, jalanan yang gelap menjadi terang terkena sinar lampu sepeda motor. Nah, sekarang bawa sepeda tanpa motor, mana ada lampunya?
Ya, seperti makan buah simalamakamalamaka: maju takut, mundur sudah terlanjur. Terpaksa, maju... dengan bulu kuduk berdiri semua.
Tikungan pertama masih biasa, jalan terang benderang, tak perlu ada yang ditakutkan. Memasuki tikungan kedua, jalanan mulai gelap, tebing kanan-kiri, dan tentu: sepi. Tak ada lampu, tak ada orang. Lampu jalan yang paling dekat sekitar 50 meter didepan. *glek!* tanpa pikir panjang lagi, maju. Biar ga' takut diakali dengan berkonsentrasi ke jalan. Nah, sesampainya ditikungan ketiga kanan-kiri berganti kuburan. Bukan itu yang sebenarnya saya takutkan, namun jalan yang menurun di-ikuti dengan tikungan tajam tanpa penerengan. Sekali lagi, konsentrasi. Namun orang takut tetaplah takut: bagaimana jika ada pocong yang muncul? Ato tiba-tiba ada gendruwo yang menyetop? Namun yang lebih saya takutkan lagi adalah ketika sekonyong-konyong gitaris kangen band muncul narik-narik baju minta diajari maen gitar. Bayangkan kawan, bayangkan!
Selesai melewati 2 tikungan tajam, tinggal saatnya melewati tikungan terakhir: perempatan. Sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan, namun, saya masih ketakutan dengan gitaris-kangen-band-itu. Bagaimana kalau seandainya dia tiba-tiba muncul diperempatan sambil menyeret-nyeret gitarnya dan mengejar saya? Ah... khayalan yang ter-la-lu. Ter-la-lu menyeramkan.
***
Perjalanan pulang sudah tak begitu menakutkan, tentu setelah belajar dari pengalaman ketika berangkat tadi. Hanya saja masalahnya berubah: tanjakan. Selama naik sepeda motor tak ada masalah. Nah bawa sepeda tanpa motor?
Yah, sebenarnya, tantangan jalan tanjakan tak seberat yang dibayangkan. Ketika saya menjalaninya tak ada masalah. Ya lumayanlah, lumayan bikin ngos-ngosan. Walaupun melelahkan, bersepeda pagi sambil beli bulud adalah hal yang menyenangkan sekaligus menantang... dan sedikit menyeramkan. Mungkin lain kali saya akan mencobanya kembali, beli bulud sambil bersepeda pagi... :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar